Sabtu, 02 April 2016

Satu Senja

Kadang saya merasa lelah menjadi single. 
Kadang cemburu dengan ayah dan ibu yang bisa mengumbar kemesraan tanpa berdosa. Cemburu pada mereka yang sudah saling halal. Cemburu pada wanita-wanita yang cinta dan segalanya hanya untuk suami seorang. 
Kalian hebat, Nona.

Tapi ada yang lebih membuat saya cemburu dari semua itu, seorang wanita single yang menjaga hatinya sebelum dimiliki siapa-siapa. 
Berat, ibu. 
Tidak mudah, ayah. 

Pada akhirnya hati anakmu hanya dilukai oleh lelaki tidak baik. 
Pada akhirnya mereka hanya ingin bersenang-senang tanpa berani mengikat.
Maka benar kata kalian, semestinya tidak perlu tergesa-gesa. 
Tapi bagaimana seharusnya aku melihat dunia? Terlalu banyak lelaki yang bermulut manis dan piawai menggoda. Sebagai wanita single, saya sungguh merasa lelah. Lelah digodai karena mereka merasa saya belum milik siapa-siapa. Pada titik itu, saya jadi ingin dimiliki seseorang dengan halal.
Ibu, sudah sejak lama anakmu berhenti bermain-main. Hati lelaki tidak terlahir untuk itu. Meski lelaki tidak sering menggunakan hatinya dalam bertindak, biarlah mereka bahagia tanpa dilukai wanita. Tapi ibu, apa yang lebih tidak kau senangi dari dikecewakan anakmu? Berpuluh-puluh kali kau terluka sebab ketidakbecusan anakmu menjadi wanita.
Ajari saya menjadi wanita, ibu. Ajari saya menjadi setia, bahkan dengan seseorang yang masih tanda tanya. Ajari saya mencintai diri sendiri agar bisa lebih waras dan mawas. Ibu, saya tersesat. Bisakah kita kembali ke masa dimana airmata tak semurah sekarang? Bisakah kau menuntunku berbenah menjadi solehah?
Maaf, ayah. Sampai hari ini anakmu bahkan tak mampu menemukan lelaki yang sepertimu. Barangkali kau memang hanya ada satu. Saya ingin dipeluk, ayah. Ditenangkan dari kekacauan masalah yang tak bisa saya selesaikan sendiri. Saya hanya ingin dipeluk tanpa dituduh berdosa, ayah. Bisakah kau menjadi hangat kepada yang menawarkan maksud baik?
Ayah, saya lelah. Anakmu bisa-bisa jatuh sakit jika terus-terusan begini. Dan berhenti untuk cemas, karena sakit yang ini tidak biasa, ayah. Tidak ada memar. Tidak ada darah. Tidak ada diagnosa untuk menerjemahkan saya tengah kenapa. Pada akhirnya saya tetap merengek minta dijajani kasih sayang. Anakmu masih menergantungkan semuanya padamu.
Apapun itu, saya tidak sedang ingin minta dilamarkan pada seseorang. Saya masih kurang apa-apa. Saya masih mengecewakan. Apalagi urusan membahagiakan kalian. Anakmu hanya merasa lelah. Nanti juga berdiri lagi. Mengatasi godaan-godaan yang bisa membawa saya pada lelah lagi. Tak masalah. Doa kalian atas masa depan baikku, itu sudah semahal-mahalnya barang berharga.

Hari ini, bisakah untuk sementara kalian yang memelukku sebelum ada yang benar-benar sanggup memelukku setiap hari, besok? Perantara doa, mari kita berpelukan.

#C.S.

Minggu, 15 November 2015

Einstein (Part 4)

“Selamat ulang tahun, Einstein..”

Ucapku dalam hati.
Beberapa hari yang lalu adalah hari ulangtahunnya.
Dari raut wajah yang selalu menjadi sasaran utama indra penglihatanku itu, bisa kutebak dia sangat bahagia.

Aku belum sempat memberinya kejutan.
Sudah satu semester aku sengaja memilih untuk tidak mengambil jadwal kuliah yang sama dengannya.
Mengapa?
Karena aku memberinya waktu untuk merindukanku, membubuhinya sedikit jeda untuk mencariku.

Tapi sepertinya aku hanya melakukan hal konyol.
Berjarak dengannya justru membuat mereka selalu mencecariku dengan pertanyaan yang sama.

“Kok sendirian? Soulmate-nya mana???” canda mereka.

Mungkin mereka sudah terbiasa melihat aku dan dia menghabiskan waktu bersama. Sehingga ada yang janggal ketika melihat kita akhir-akhir ini tak lagi bersisian. Mereka tak salah, aku pun merasakan hal serupa. Jujur saja.

“Iya nih, lagi sama-sama sibuk,” aku tak mau banyak berkomentar, hanya tersenyum lalu menjawab sekenanya.

Ya, ketika aku berpura-pura bahagia, dia justru terlihat seperti semua berjalan normal-normal saja. Tak ada yang lebam, tak ada yang retak apalagi patah.

Secepat itukah?

Hari ini aku berencana memberinya kejutan kecil.
Seusai jam kuliah, aku bergegas menuruni anak tangga dan menyusuri setiap sela lorong kampus untuk mencarinya. Tak perlulah aku bertanya melalui social media terlebih dulu. Aku yakin, 'radar' ku sudah cukup kuat untuk mengetahui keberadaannya.

Dugaanku benar.
Tak butuh waktu lama untuk aku menemukan sosoknya. Dia mengenakan kaos lengan panjang bergaris abu-abu, putih dan hitam, dengan celana jeans dan sepatu sneakers suede warna navy kesayangannya. Sebuah kacamata minus yang membingkai wajah teduh itu seolah menjadi penegas bahwa ia memang laki-laki cerdas.

Aku berdiri beberapa meter dari tempatnya berada. Ku nyalakan lilin kecil di atas cupcake coklat yang sudah kusiapkan. Sederhana.
Namun, melihat dia asik tertawa lepas bersama teman-temannya membuatku enggan untuk mendekat. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah wanita. Mereka terlihat membawakan kue yang cukup besar, lengkap beserta lilin berangka 23 di atasnya.

Aku memilih untuk memperhatikan dari jarak yang tidak terlalu dekat sambil bersembunyi di balik tiang-tiang tembok yang ada.
Sebelum meniup kedua lilin itu, dia tampak memejamkan mata lalu berdoa. Entah harapan apa yang sedang ia pinta. Mungkinkah ada namaku ia sebutkan di sana?

Aku sibuk menjaga pijar lilin di atas cupcake yang kubawa agar tidak padam tertiup angin.
Ah sial, lilinnya semakin meleleh.
Ku lihat dia mulai memotong kue ulangtahun diiringi suara teman-temannya yang bersemangat menyorakan nama 'Rena'. Ya, wanita yang ada di sebelahnya. Mungkinkah wanita itu yang akan mendapatkan potongan kue pertama darinya?

Aku masih berdiri mematung.
Ternyata benar, dia memberikan potongan kue pertama pada wanita bernama Rena. Wanita itu pun tampak senang menerimanya.

Cemburu?
Memang.
Tapi aku tidak akan mengganggunya. Aku senang ada banyak orang yang bisa membuatnya bahagia. Walaupun aku tidak termasuk di dalamnya.

Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menghembuskan nafasku sedalam mungkin.
Aku tidak ingin menangis.
Untuk apa?
Bukankah seharusnya aku bahagia?
Salahku.
Aku tau dia selalu mengatakan hal yang sama agar aku menyiapkan hati, karena dia bisa kapan saja menyakiti. Tapi peringatan itu tak pernah aku cermati.

Sudahlah, sebaiknya aku pergi.

Ku letakan cupcake yang kubawa di atas kursi yang ada di dekatku.
Lilinnya sudah hampir habis terbakar api.

Aku berjalan ke arah taman. Langkahku gontai. Badanku mulai gemetar.
Sesekali aku menyeka cairan bening yang keluar di ujung mataku.

Tidak, aku tidak boleh menangis.

Tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari belakang.
Sangat kuat hingga tubuhku ikut terbawa dan berbalik ke arah yang berlawanan.

BUUKK!!

Aku menabrak seseorang. Seseorang yang lebih tinggi dariku. Seluruh pandanganku tertutup olehnya. Aku berusaha berontak. Tapi aku tidak berdaya, kedua tangan itu terlalu kuat mendekapku. Seketika aku mencium aroma parfum yang sangat ku kenal. Aku pasrah. Tangisku pecah.

“Mau kemana?” tanyanya lembut.
“Gue mau pergi!” jawabku sambil terisak.

Taman kampus saat itu cukup ramai. Beberapa mahasiswa yang lewat dan melihat kejadian tersebut mungkin berpikir kita adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Seandainya saja kenyataannya seperti itu, aku sudah sangat senang. Setidaknya aku dan dia adalah sepasang kekasih.

Mendengarku menangis, dia semakin kuat memelukku. Tapi, ku biarkan tanganku menggantung bebas tanpa membalas pelukannya.

“Lu mau pergi kemana?”
“Ke tempat yang nggak ada lu!”

Dia melepaskan dekapannya. Aku masih menunduk karena tidak ingin dia melihatku menangis. Tangan kanannya mengangkat ujung daguku perlahan. Dia menatapku lembut seperti biasa. Jemarinya mencoba menghapus airmata di wajahku.

“Kenapa nangis?” tanyanya.
“Ngapain lu di sini?” tanyaku ketus.
“Buat nemuin lu. Gue tau lu daritadi nguntit gue kan? Hayoooo...”
“Siapa juga yang nguntit lu?”
“Halaaah, masih ngelak aja,” katanya sambil menarik hidungku.
“Auuuww sakit tau!” aku memukul tangannya. Kesal.
“Kalo lu nggak nguntit gue, terus ini apa?” Dia menunjukkan cupcake coklat yang kutinggalkan di kursi tadi. Aku diam.

“Kalo lu liat gue, kenapa lu nggak langsung manggil gue?”
“Hahahaha... kan lu mau kasih gue surprise, masa gue panggil. Nanti lu ngerasa rencana lu bikin suprise buat gue gagal dong?!”
Lagi-lagi aku diam. Iya, ku pikir dia ada benarnya juga.

“Sini...”
Dia menggandeng tanganku lalu mengajakku duduk di sebuah bangku. Aku menurut.

“Sekarang lu harus nyalain lilin ini lagi buat gue,” pintanya.
“Buat apaan?”
“Gue mau niup lilin dari kue yang lu bawa.”
“Udah, lupain aja. Mending lu balik lagi sana, kasian si Rena nungguin,” sindirku.
“Lu cemburu sama Rena?”

Dia masih saja menanyakan hal yang sudah jelas-jelas dia tahu jawabannya.
Ini yang paling aku tidak suka.

“Beruntung ya dia, bisa dapet first cake dari lu,” kataku sambil tertawa sinis.
“Ya ampun, itu karena diejekin temen-temen aja kok. Cuma bercanda.”
“Bukannya lu sekarang emang lagi deket sama dia?”
“Gue tuh lagi nggak deket sama siapapun. Kalo lu cemburu sama dia, lu salah sasaran. Rena tuh udah tunangan, masa iya gue ambil calon istri orang,” jelasnya.

Aku masih cemberut. Meskipun ada sedikit rasa tenang tapi tetap saja aku kesal.

“Udah nggak usah cemberut cuma gara-gara perkara first cake. Menurut gue, lu udah dapet yang lebih dari itu," hiburnya.

"Gue nggak mau lu pergi. Gue butuh lu, seperti lu butuh gue. Mungkin gue emang nggak bisa janji bakal gimana kita ke depan nanti. Tapi gue janji, lu akan selalu jadi orang penting dalam hidup gue,” katanya sambil menggenggam kedua tanganku. Aku memandangnya penuh keraguan, meskipun aku tahu dia sedang berusaha untuk menyakinkan.

“Lu akan selalu jadi prioritas gue. Janji!” Dia mengulurkan kelingking kanannya.
Kali ini kata-katanya cukup menghibur. Aku tak bisa menahan senyumku. Mungkin wajahku sudah berubah memerah.
“Janji.” Aku membalas dengan mengaitkan kelingking kananku.

“Naaah, gitu dong... Kan jadi lebih manis kalo lu senyum,” rayunya. “Ya udah, sekarang kita nyalain lagi lilinnya.”

Aku mengambil korek gas dari dalam tasku, lalu menyalakan kembali lilin yang sudah nyaris tak terlihat sumbunya itu. Setelah lilin menyala, dia menutup mata dan mengucapkan harapannya.
“Semoga kita bisa terus sama-sama.”

Einstein...

Dia meniup lilin harapannya. Lilin sebagai tanda usianya telah lebih mendewasa.
Aku  tersenyum lalu mengamini harapannya dalam hati.
Sudah menjadi rutinitasku sehari-hari, melafalkan semua do’a terbaikku untukmu.
Untuk kita.
Tak peduli seberapa bosan Tuhan mendengarnya.

Dariku,
Yang diam-diam (selalu) mendo'akamu :)




(Baca cerita sebelumnya Einstein (Part 3)

Minggu, 28 Juni 2015

Semangkuk Kolak Pisang


Berkali-kali aku membuka e-mail dari handphoneku, memastikan agar tak keliru membaca keterangan waktu dan lokasi yang tertera pada surat elektronik tersebut. Laju mobilku mulai melambat akibat banyaknya kendaraan yang menjejali jalan. Macet. 
Aku pasrah, mungkin aku akan datang terlambat. Hari mulai mendekati senja, pemandangan ini ku rasa sudah tak aneh, apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang. Ya, mungkin beberapa dari mereka sedang mengejar waktu agar bisa berbuka dengan keluarga ataupun kawan. Begitu juga aku.
Aku hendak menghadiri acara buka puasa bersama yang diadakan kawan-kawanku semasa SMA.
Itu artinya, aku akan kembali bertemu dengan dia.
Dia yang peluknya sempat menjadi tempat ternyaman, dia yang membuatku mengerti arti kehilangan.
Tiba-tiba aku tergelitik untuk menghadirkan bayangan sosoknya di kepala.
Seperti apa rupamu sekarang?
Setelah berpisah, kita memang sudah tak pernah lagi bertatap muka, bahkan untuk sekedar saling menyapa. Aku tak ingin mengingat penyebab pasti yang membuat kita akhirnya memilih melangkah sendiri-sendiri.
Ah, sudahlah...
Tujuh tahun adalah waktu yang sangat cukup untukmu menghapus semua hal tentang aku. Bahkan mungkin kau sudah tak ingat lagi siapa namaku.
Kamu pasti tidak akan percaya bahwa selama ini aku selalu menunggu pesan singkat darimu.
Bahkan jika boleh jujur, diam-diam aku selalu ingin tahu bagaimana kabarmu, pekerjaanmu atau sekedar bertanya sedang apa kamu.
Lebih tepatnya, rindu.
Tak terasa aku sudah tiba di tempat acara. Ternyata belum terlambat. Untungnya panitia sudah melakukan reservasi, sehingga aku tak perlu khawatir akan kehabisan tempat duduk seandainya datang terlambat. Setelah memarkir mobil, aku berjalan memasuki restoran yang cukup terkenal di kawasan Bogor itu. Ramai. Semua wajah terlihat tak asing, namun sudah tampak berbeda. Aku menyapa kawan-kawan dekatku. Sudah lama sekali rasanya tak berbagi cerita. Beberapa dari mereka datang bersama pasangan, bahkan sudah ada yang berkeluarga. Sisanya, harus berbesar hati datang seorang diri, seperti aku. Mungkin aku terlampau sibuk hingga tertinggal banyak kabar tentang mereka.
Adzan maghrib sekitar tiga puluh menit lagi. Semakin banyak yang datang, suasana pun terasa semakin hangat. Maklum saja, acara ini sekaligus ajang reuni kecil-kecilan untuk kami. Bertemu dengan mereka, aku merasa seperti kembali ke masa-masa SMA dulu. Ceria, penuh tawa, melakukan segala hal sekenanya seperti tanpa beban.
Mataku kembali menjelajah ke setiap sudut ruangan. Aku masih belum menemukan sosoknya.
Dimana dia?
Apa dia tidak datang?
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
Bosan.
Aku melangkah keluar ruangan menuju balkon restoran.
Di sini jauh lebih sepi. Aku berdiri sambil berpegangan pada pembatas balkon yang terbuat dari kayu-kayu. Ku tutup mataku sambil menikmati hembusan angin sore yang menerpa wajahku.
Sejuk sekali.
Beberapa saat kemudian aku menghirup aroma parfum yang tak asing bagiku.
Aku sangat mengenali aroma parfum ini.
Jantungku berdegup semakin lincah.
Tidak salah lagi, ini aroma parfum yang biasa dia gunakan.
Aku membuka mataku perlahan dan melihat seseorang telah berdiri di sampingku.
“Kamu?!?” Aku terkejut.
Benar saja dugaanku,  itu memang dia.
“Apa kabar?” dia bertanya sambil tersenyum padaku. Manis sekali.
“B-baik... Ka-kamu?” aku balik bertanya. Gugup.
“Aku juga baik,” jawabnya santai.
Aku membalas senyumannya.
Ini adalah percakapan pertama kami setelah tujuh tahun lamanya tidak bertemu. Sekarang dia tampak lebih dewasa. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru tua, celana jeans dan sepatu convers. Casual tapi tetap rapi. Tubuhnya lebih tegap, wajahnya terlihat dihiasi kumis tipis. Potongan rambutnya jauh lebih tertata. Ku perhatikan di saku kemejanya tak ada lagi bungkus rokok tersimpan seperti yang sering ia lakukan dulu.
Mungkinkah ia juga sudah berhenti menjadi pecandu nikotin sekarang?
Dia masih berdiri di sampingku. Ikut menikmati pemandangan sore. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya.
“Kenapa malah berdiri sendirian di sini?” tanyanya.
“Aku tidak begitu suka dengan keramaian. Kamu pasti sudah tau, kan?”
Dia tidak menjawab, hanya tertawa kecil.
“Maksudku, dimana pria beruntung itu?”
Aku mengerti arah pertanyaannya.
“Sejak kita berpisah, aku sudah tidak dapat menemukan seseorang yang bisa membuatku nyaman sepertimu,” jawabku sambil memukul lengannya pelan. Mencoba mencairkan suasana.
Kami pun tertawa bersama.
Memang benar. Selama ini aku sempat menjalin hubungan dengan beberapa pria. Tapi tidak ada yang dapat memberikanku kenyamanan seperti dia.
“Kamu masih memakai parfum itu?” tanyaku.

Aku baru ingat, parfum yang dia kenakan adalah hadiah ulang tahun yang kuberikan ketika usianya genap tujuh belas. Bisa dibilang parfum itu cukup eksklusif, karena tidak semua toko menjualnya. Apa mungkin dia juga masih belum bisa melupakanku?
Dia tak langsung menjawab pertanyaanku. Tatapan matanya sempat terlihat kosong seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Aku sangat suka dengan wanginya. Terima kasih ya,” jawabnya .
“Ooh... Ya, sama-sama.” Kali ini dugaanku salah.
“Lalu, bagaimana denganmu? Siapa gadis beruntung itu?” aku membalas pertanyaannya dengan harapan dia memiliki jawaban yang serupa.
“Allahu akbar, Allahu akbar...”
Kumandang adzan maghrib menghentikan percakapan kita.
“Alhamdulillah, udah adzan. Yuk kita buka puasa dulu,” ajakku berjalan masuk ke dalam restoran sambil menggandeng tangannya, bergabung dengan yang lain. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami menikmati semua makanan yang telah dihidangkan. Ada bubur kacang, roti bakar, sop buah, dan... kolak pisang! Makanan kesukaannya.
Aku mengambil semangkuk kolak pisang dihadapanku dan berniat memberikan untuknya.
“Kamu suka ini kan, Mas? Dimas???”
Aku celingukan, bingung karena mendapati dia sudah tak ada di sampingku.  Aku berjalan mengelilingi ruangan untuk mencarinya. Dapat!
Aku menemukan dia sedang duduk sendirian. Mejanya terlihat masih kosong. Aku segera berjalan mendekat. Dia pasti senang jika tahu apa yang ku bawa untuknya.
Belum sempat aku memanggilnya, tiba-tiba seorang gadis cantik mendekat membawa semangkuk kolak pisang yang sama. Dia terlihat sangat senang menyambut kolak pisang yang diberikan oleh gadis itu.
Langkahku terhenti. Aku berdiri mematung.
Aku tak mengenali gadis itu.
Mungkinkah dia...??
Aku membalikan tubuhku sambil mencengkram kuat mangkuk kolak pisang yang ku bawa. Sebaiknya aku kembali ke mejaku. Tapi belum sempat aku melangkah, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
“Nayaaa!”
Aku menoleh.
Dia memanggilku sambil melambaikan tangan. Memberi tanda agar aku mendekat ke arahnya. “Sini Nay!”
Ku lihat gadis itu duduk di sebelahnya sambil tersenyum ke arahku.
Aku pun mendekat dengan perasaan terpaksa.
“Nay, kenalin ini Kezia... tunanganku.”
Dia mengenalkan gadis berwajah indo itu.
“Dua bulan lagi kita akan menikah,” tambahnya.
Gadis itu lalu mengucapkan nama sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku masih terhenyak tidak percaya. Ternyata dia sudah memiliki kekasih. Tidak, bukan sekedar kekasih, gadis ini adalah calon istrinya.

Secepat itukah?
Dengan perasaan yang berkecamuk aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum hambar.
“Naya.”
“Senang bisa ketemu kamu di sini. Dimas cerita banyak hal tentang kamu,” ujarnya ramah.

Benarkah???
Apa gadis ini juga tahu bahwa aku mantan kekasih tunangannya?
“Oya?” tanyaku seolah tak percaya.
“Iya, kamu gabung aja di sini bareng kita.”
Gadis ini murah senyum tapi sungguh terlampau ramah.
Mana mungkin aku bisa bergabung dengan mereka. Bagiku, itu sama saja bunuh diri.

“Terima kasih, tapi aku mau kembali ke mejaku saja. Permisi,” aku menolak dengan sopan. Aku pergi meninggalkan meja mereka.
“Nay… Nayaaa…”
Dimas masih mencoba memanggil namaku. Tapi aku pura-pura tak mendengar dan semakin cepat melangkahkan kaki untuk menjauh.
Nyatanya aku tidak kembali ke mejaku.
Aku lebih memilih menenangkan hati di balkon restoran tadi. Duduk termenung sambil memperhatikan semangkuk kolak pisang yang gagal kuberikan untuknya. Dasar bodoh! Dia sudah bertunangan. Jelas saja tunangannya tahu makanan kesukaannya.
Aku menyendok kolak pisang itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Rasa manisnya cukup menghalau kegetiran yang menyusup. Meskipun ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan, tapi aku harus bisa menerima. Setidaknya, setelah tujuh tahun memendam rindu, pada akhirnya hari ini Allah mengizinkan kita bertemu.
Sekarang, dia sudah menemukan tulang rusuknya. Harusnya aku turut senang, karena dia sudah memiliki seseorang yang bisa menjaganya dan selalu ada di sampingnya.

Ya, semoga kalian bahagia.

Minggu, 07 Juni 2015

My First Articel on Hipwee


Yeeeeaaayyy...!!!
Itu adalah judul artikel pertama gue yang di publish oleh hipwee. Nggak nyangka tulisan gue bisa di share lebih dari empat ribu orang dan sempet masuk jajaran 10 artikel terpopuler mingguan
(terima kasih kawan, rasanya mau peluk kalian satu-satu :D).
Tulisan yang menurut gue masih butuh beberapa ilmu tentang tata bahasa. Tulisan hasil keisengan yang terinspirasi oleh ‘luka’.

 Awalnya, sama sekali nggak berharap terlalu muluk artikel gue bisa lolos dan dipublish. Tapi setelah tau judul artikel gue muncul di web hipwee, antara percaya dan enggak rasanya.

Bisa dibilang gue cuma seorang penulis amatir. Gue nggak tau seni ataupun ilmu tentang dunia sastra maupun tulis-menulis. I just do what I want and what I love.

Mungkin orang-orang akan mikir gue norak. Hahaha gapapa, memang begitu kenyataannya, karena gue nggak tau gimana cara ungkapin perasaan senang gue.

Gue sempet bilang sama diri gue sendiri, kalo yang nge-share artikel gue bisa lebih dari seribu orang, maka gue akan coba buat nulis artikel lagi (karena gue pikir nggak bakal ada yang mau share artikel cengeng kayak gitu haha) Tapi, ternyata gue salah.
Selang dua hari sejak artikel gue terbit, artikel gue udah di share lebih dari 4.000 orang.
So, berbahagialah untuk kalian yang menunggu artikel dari gue selanjutnya, karena gue harus tepatin janji gue hahaha :p
Suatu kebanggan tersendiri karena tulisan gue bisa dinikmati banyak orang, walaupun tanpa dibayar :)

Sekali lagi, terima kasih untuk kalian yang udah mau sempetin waktunya buat baca coretan gue, terima kasih juga buat kalian yang selalu support gue, buat kalian yang menunggu novel terbitan gue (entah kapan novelnya bisa terbit hehehe).
Dan terima kasih untuk 'Einstein' yang selalu jadi inspirasi dari setiap tulisan gue.
Pokoknya... LOVE YOU ALL <3 :*


Minggu, 12 April 2015

Einstein (Part 3)

“Kayak biasa ya, Mas.”
“Siap Neng.”

Kedai mie ayam sederhana ini memang sudah tidak asing lagi untukku. Aku dan dia bisa dibilang sudah beberapa kali mengandalkan tempat ini untuk sekedar mengganjal perut. Pesanan kami pun selalu sama. Jadi aku tak perlu repot lagi berlama-lama memilih menu, karena aku yakin penjualnya pun sudah hafal.

Siapa yang pertama kali mengajakku ke sini?
Siapa lagi kalo bukan pria pintar berkacamata yang sedang duduk di hadapanku sekarang.
Ya,  Einstein...

Sembari menunggu pesanan, aku perhatikan dia sangat sibuk dengan gadgetnya. Sesekali dia terlihat tersenyum kecil. Aku tahu, dia pasti sedang berbalas pesan dengan gadis itu.
Gadis yang aku tau beberapa bulan terakhir ini sedang dekat dengannya.
Gadis yang perlahan tapi pasti mulai berhasil menggeser posisi pentingku di hidupnya.
Gadis...
yang jauh lebih sempurna dibandingkan aku.

Aku pun hanya mampu menarik nafas sedalam mungkin lalu menghembuskannya. Hal itu biasa aku lakukan agar perasaanku jauh lebih tenang.

“Permisi, ini pesanannya ya. Mie ayam bakso dan mie ayam pangsit. Minumannya es jeruk sama es teh manis,” ujar sang penjual sambil menghidangkan pesanan kami satu per satu.
“Terima kasih Mas,” ucapku.

Ini adalah waktu yang paling aku suka. Melihatnya makan dengan lahap di depanku.
Membantu dia meracik mie ayam dengan kecap dan sambal hingga sesuai dengan selera lidahnya.
Terkadang dia berusaha menahan tanganku agar tidak menambahkan kecap terlalu banyak ke mangkoknya. Tapi semakin dia menahan, aku malah semakin memaksa. Hahaha sungguh aku hanya rindu bercanda dengannya. Suasana di kedai kali ini tidak begitu ramai. Dari sekitar 10 meja, terlihat hanya 3 meja saja yang terisi. Membuat suara candaan kami berdua cukup menguasai ruangan.

Sesekali dia menyeruput es jeruknya. Mungkin untuk menetralkan rasa pedas akibat beberapa sendok sambal yang ia tambahkan ke dalam mie ayam tadi. Peluhpun mulai terlihat menghiasi wajah teduh itu, membuatku tersenyum lalu tertawa kecil.
“Kenapa?” tanyanya bingung.

Aku mengambilkan beberapa lembar tissue untuknya, “Kebiasaan deh. Nih, bersihin muka lu. Keringetan banget.”
Dia menuruti perintahku.
Tak butuh waktu lama untuknya menghabiskan semangkok mie ayam. Aku tahu setelah ini dia pasti meledek cara makanku yang terlalu lama.

“Buruan makannya, lama banget. Gue aja udah abis,” ledeknya.
“Nggak usah bawel... Gue tau lu mau minta kan?” jawabku yang sudah sangat paham maksud candaannya itu.

Dengan sigap dia menarik mangkokku hingga ke tengah meja. Tanpa rasa berdosa dia mulai menyantap mie ayam milikku.

“Daripada kelamaan, mending gue bantuin yaaaa,” katanya sambil mengunyah mie ayam yang ada di mulutnya. Dia masih terlihat sangat lahap. Aku terheran-heran dibuatnya.

“Ih, emang dasar lu ya, perut karuuung!” ujarku gemas lalu memukul pelan kepalanya dengan sumpit.
Dia tertawa.

Tuhan...
Kali ini aku terlalu lemah
Jangan biarkan aku jatuh cinta berkali-kali karena melihat pria ini tertawa
Ku mohon, ku mohon...

Melihat jatah mie ayamku tak luput dari incarannya, aku hanya bisa pasrah.

“Kok lu berhenti?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku.
Bagaimana bisa aku makan sementara ada seorang laki-laki yang sangat aku gilai berada tepat di depanku saat ini?
Aku lebih memilih untuk menikmati setiap lekuk wajahnya dibandingkan menyia-nyiakan waktu hanya untuk sekedar makan.

“Yah gara-gara gue ya?”
Aku tidak menjawab.

Iyaaa, iyaaa...
Semua ini gara-gara lu!

“Ya udah nih gue suapin ya.”
Aku terkejut mendengarnya.
Benar saja, dia menyodorkan sesendok mie ayam tersebut. Dengan rasa tidak percaya, perlahan aku membuka mulutku dan menyambut suapan mie ayam darinya.

“Enak kaaaan??” godanya lagi.
Dan untuk kesekian kalinya dia berhasil membuatku tersenyum.
Rasa mie ayam ini memang bukan yang paling enak, tapi bagiku menjadi yang paling enak sedunia saat itu.

Tidak terasa semangkok mie ayam pesananku telah habis. Setelah membayar semua bill pesanan, kami berniat pulang.

Dia menghidupkan motornya dan memintaku untuk segera naik.
Aku mengiyakan.

“Udah siap?” tanya dia ketika aku sudah berada di atas motor.
“Bentar, bentar...” Aku membetulkan posisi helmku.
“Udah beloooom???” tanyanya lagi.
 “Udah!” jawabku mantap.
“Ya udah, turun!”

Sontak aku langsung memukul pundaknya dengan kesal. Dia selalu melakukan hal yang sama setiap akan mengantarku pulang. Jahatnya, dia justru tertawa puas ketika berhasil membuatku kesal.

Perlahan motornyapun melaju menuju rumahku.
Semilir angin malam kubiarkan menerpa wajahku dengan leluasa. Dingin.
Dari balik punggungnya, aku masih saja tidak berhenti memperhatikan sosok ‘Einstein’ku ini.
Tanpa sadar, kedua tanganku melingkar dipinggangnya. Ya, aku memeluknya.
Berada sedekat ini membuatku mampu merasakan hembusan nafasnya dan mencium wangi tubuhnya.
Kurasakan seketika jantungku berdegup lebih kencang. Aku tak peduli jika dia mengelak dan memintaku untuk menyingkirkan kedua tangan yang lancang ini.
Aku hanya tak memiliki kalimat yang pantas aku sampaikan  untuk menjelaskan bahwa aku takut kehilangannya.
Tepat.
Aku terlalu takut kehilangan dia.

Tiba-tiba aku mendengar dia terbatuk.
“Kenapa?” tanyaku panik.
“Sorry, lu pegangan kenceng banget. Gue sampe nggak bisa napas,” jawabnya.

Aku diam dan langsung melepaskan pelukanku.

"Maaf," tukasku singkat.

Kali ini aku tidak bisa tertawa.
Aku belum siap tertawa dengan lelucon yang disuguhkan oleh takdir.

Memang... terkadang kita jatuh cinta terhadap orang yang salah di waktu yang tepat.
Atau bahkan jatuh cinta kepada orang yang tepat di waktu yang salah.
Dan aku... terjebak di antara keduanya.

Ini kebodohanku…
Seberapapun kuatnya keinginanku untuk memiliki hatinya,
aku melupakan satu hal yang seharusnya aku ingat.
Dia sudah milik seseorang.



Dariku,
Gadis yang tidak tau diri :’)


(Lihat cerita sebelumnya Einstein (part 2))

Senin, 21 Juli 2014

Einstein (Part 2)

Disini.
Aku duduk ditemani musik yang mengalun dari headset yang terpasang di telingaku.
Padahal ramai, tapi aku sibuk dengan duniaku. Membiarkan kesibukan orang-orang itu yang berlalu lalang dihadapanku.

Aku menunggu seseorang.
Siapa lagi kalau bukan dia. Dia yang masih saja menjadi penyemangatku untuk datang ke tempat ini. Dia yang kuberi panggilan 'Einstein'.
Perlahan aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Tanpa aku harus melihatnya, aku tau itu dia.

"Einstein," ujarku dalam hati.

Benar saja, dia telah berdiri disampingku, aku tau dia sedang memperhatikanku bermain handphone daritadi.
Aku bukan tidak menyukai kedatangannya, hanya saja aku terlalu gugup untuk memandang matanya. Aku tidak ingin jatuh cinta berkali-kali hanya karena memandang matanya.
Aku harus menghela nafas panjang sesering mungkin agar gugupku sedikit berkurang. Aku tidak berbicara sepatah katapun, hingga akhirnya dia yang memulai percakapan.

"Yang lain belum pada dateng?"
"Belum," jawabku singkat. Aku yakin dia pasti berpikir aku gadis yang sangat jutek dan dingin.
Dia pun memilih berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah tiang. Padahal kursi yang aku duduki saat itu masih cukup panjang untuk dia tempati. Aku tau dia ingin menjaga jarak denganku. Aku tau dia tidak ingin membuatku merasa menjadi seseorang yang spesial di hatinya.

Sekitar dua puluh menit kita berdua bertahan dalam diam, akhirnya dia memutuskan mengajakku masuk kelas.
"Udah jam segini, masuk yuk!"
Aku hanya mengangguk pelan tanda setuju dan mengikuti langkahnya dari belakang.
Di kelas, aku selalu memilih duduk di belakang dia. Itu lebih kusukai karena aku bisa memperhatikan semua tingkahnya dari sini.

Ya, seperti biasa.
Semua gerak geriknya masih saja mencuri perhatianku. Hingga kini akupun hapal bagaimana cara dia memperhatikan dosen mengajar, cara dia membetulkan posisi kacamatanya, cara dia membaca buku, cara dia tertawa, bahkan cara dia bercanda dengan teman-teman wanitanya tanpa memperdulikan perasaanku.

Tunggu.
Perasaanku??? Hahaha memangnya aku siapa?!
Aku harusnya tahu diri.
Aku tidak punya hak mengatur dia, apalagi membatasi kedekatannya dengan seseorang. Aku hanyalah gadis pengagumnya, yang menyembunyikan cinta dengan berkedok sebagai sahabatnya.
Aku tidak ingin menebak-nebak isi hatinya. Karena aku tau pasti tidak ada namaku di sana.

Ah sudahlah, aku tidak ingin menghancurkan sesuatu yang menjadi prioritasnya. Aku hanya menikmati hari-hariku di dekatnya. Entah suatu saat siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Setidaknya aku bahagia pernah menjadi seseorang yang selalu ada untuknya, yang bisa tulus mencintainya, yang bisa menikmati tawanya, yang bahagia melihat kebahagiaannya.
Setidaknya aku mengerti, untuk saat ini aku memang ditakdirkan untuk memilikinya.
Ya, memilikinya sebagai seorang sahabat. Entah takdir itu akan berubah atau tidak suatu saat nanti.

-Untukmu... penyebab tawa dan tangisku :')
(lihat cerita sebelumnya Einstein)

Rabu, 18 Juni 2014

Hanya Ketika Bersamamu



Aku tak pernah mengerti arti pertemuan kita
Aku tak pernah memahami mengapa Tuhan mengizinkan kita untuk saling mengenal.

Yang aku tahu,
sejak mata ini menangkap sosokmu
Hati ini seolah ingin menjelaskan sebuah rasa
Sebuah rasa yang aku percaya itu cinta

Tapi…
Aku terlalu pandai
pandai menyembunyikan segalanya
menutupi rapi apa yang sesungguhnya aku rasakan

hingga kamu tidak pernah sadar
bahwa aku mencintaimu diam-diam
hingga kamu tidak pernah sadar
bahwa aku merindukanmu sendirian

Aku tahu kamu tidak membutuhkanku sedalam aku membutuhkanmu
Aku tahu kamu tidak pernah bermimpi tentangku sesering aku bermimpi tentangmu

Tuan…
Sebenarnya kamu siapa?
hingga mampu membuatku begitu menggilaimu

Aku suka matamu, tingkahmu, tawamu, semua hal tentangmu
Salahkah jika aku ingin menjadi wanitamu?
Salahkah jika aku ingin menjadi satu-satunya dihatimu?

Bagaimana bisa aku begitu takut kehilangan sosokmu
Padahal aku tidak pernah benar-benar memilikimu

Aku selalu ingin kamu tahu
bahwa kamu selalu jadi alasan semangatku
bahkan kamu selalu jadi alasan penyebab tangisku

Maafkan aku…
Maafkan aku jika aku salah mengartikan segala perhatian dan ucapanmu
Aku memang bodoh
Selalu merasa diistimewakan olehmu
Nyatanya semua itu kamu lakukan tidak hanya kepadaku kan?

Terlambat...
Aku kehabisan cara untuk memusnahkan jutaan kamu yang selalu memenuhi isi otakku
Aku merapuh ketika indra penglihatanku tak mampu menangkap sosokmu

Aku tak peduli kau mau menyebut kedekatan kita sebagai apa
Mengertilah…

Karena hanya ketika bersamamu
Aku mampu tertawa
Karena hanya ketika bersamamu…
Aku mengenal bahagia