Sabtu, 02 April 2016

Satu Senja

Kadang saya merasa lelah menjadi single. 
Kadang cemburu dengan ayah dan ibu yang bisa mengumbar kemesraan tanpa berdosa. Cemburu pada mereka yang sudah saling halal. Cemburu pada wanita-wanita yang cinta dan segalanya hanya untuk suami seorang. 
Kalian hebat, Nona.

Tapi ada yang lebih membuat saya cemburu dari semua itu, seorang wanita single yang menjaga hatinya sebelum dimiliki siapa-siapa. 
Berat, ibu. 
Tidak mudah, ayah. 

Pada akhirnya hati anakmu hanya dilukai oleh lelaki tidak baik. 
Pada akhirnya mereka hanya ingin bersenang-senang tanpa berani mengikat.
Maka benar kata kalian, semestinya tidak perlu tergesa-gesa. 
Tapi bagaimana seharusnya aku melihat dunia? Terlalu banyak lelaki yang bermulut manis dan piawai menggoda. Sebagai wanita single, saya sungguh merasa lelah. Lelah digodai karena mereka merasa saya belum milik siapa-siapa. Pada titik itu, saya jadi ingin dimiliki seseorang dengan halal.
Ibu, sudah sejak lama anakmu berhenti bermain-main. Hati lelaki tidak terlahir untuk itu. Meski lelaki tidak sering menggunakan hatinya dalam bertindak, biarlah mereka bahagia tanpa dilukai wanita. Tapi ibu, apa yang lebih tidak kau senangi dari dikecewakan anakmu? Berpuluh-puluh kali kau terluka sebab ketidakbecusan anakmu menjadi wanita.
Ajari saya menjadi wanita, ibu. Ajari saya menjadi setia, bahkan dengan seseorang yang masih tanda tanya. Ajari saya mencintai diri sendiri agar bisa lebih waras dan mawas. Ibu, saya tersesat. Bisakah kita kembali ke masa dimana airmata tak semurah sekarang? Bisakah kau menuntunku berbenah menjadi solehah?
Maaf, ayah. Sampai hari ini anakmu bahkan tak mampu menemukan lelaki yang sepertimu. Barangkali kau memang hanya ada satu. Saya ingin dipeluk, ayah. Ditenangkan dari kekacauan masalah yang tak bisa saya selesaikan sendiri. Saya hanya ingin dipeluk tanpa dituduh berdosa, ayah. Bisakah kau menjadi hangat kepada yang menawarkan maksud baik?
Ayah, saya lelah. Anakmu bisa-bisa jatuh sakit jika terus-terusan begini. Dan berhenti untuk cemas, karena sakit yang ini tidak biasa, ayah. Tidak ada memar. Tidak ada darah. Tidak ada diagnosa untuk menerjemahkan saya tengah kenapa. Pada akhirnya saya tetap merengek minta dijajani kasih sayang. Anakmu masih menergantungkan semuanya padamu.
Apapun itu, saya tidak sedang ingin minta dilamarkan pada seseorang. Saya masih kurang apa-apa. Saya masih mengecewakan. Apalagi urusan membahagiakan kalian. Anakmu hanya merasa lelah. Nanti juga berdiri lagi. Mengatasi godaan-godaan yang bisa membawa saya pada lelah lagi. Tak masalah. Doa kalian atas masa depan baikku, itu sudah semahal-mahalnya barang berharga.

Hari ini, bisakah untuk sementara kalian yang memelukku sebelum ada yang benar-benar sanggup memelukku setiap hari, besok? Perantara doa, mari kita berpelukan.

#C.S.