“Jelek banget sih nih duit,” ucap Bima sambil memegang ujung uang kertas milik Reva.
“Yeee jelek-jelek juga duit tuh namanya,” ujar Reva.
“Hobi lu tuh emang selalu nganiaya uang kecil ya, Va?” tanya Nina sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Yailah lagian juga cuma seribuan. Udah tuh buat lu aja,” Reva menyerahkan uang kertas seribuan itu. Bima langsung menerimanya dengan senang hati, “hahaha lumayan buat beli es,”. Reva melongo melihat tingkah sahabatnya.
Nina heran dengan tingkah Reva yang menyimpan uang kecil seenaknya. Ia termasuk orang yang risih ketika mendapati uang kertas yang lecek, kotor, penuh coretan, bahkan sobek hingga terbagi dua seperti yang biasa dilakukan oleh Reva.
“Gak mikir apa kalo kelakuannya itu bisa merugikan negara,” ungkapnya dalam hati
***
“Nih, Bang,” Reva menyerahkan selembar uang seribu bersolasi karena telah sobek menjadi dua bagian pada tukang gorengan di kantin sekolahnya.
“Cantik-cantik kok duitnya kayak gitu sih,” tukas Damar tiba-tiba.
“Eh, D-D-Damar...” Reva kaget saat Damar, cowok yang dia kagumin menegurnya. “I-i-iya... lagian cuma seribuan aja kok. Ga ngaruh kali,” jawab Reva.
“Siapa bilang?!”
“Gue yang bilang barusan, hehehe,”
“Suatu saat lo bakal narik kata-kata lo tadi, Va.”
“Maksud lo?” Reva bingung.
“Iya. Lo bakal tau gimana sangat berartinya uang walaupun cuma seribu,” jelas Damar sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan Reva. Reva masih diam tidak mengerti.
“Neng, nih gorengannya mau diambil ga?” tanya tukang gorengan yang melihat Reva bengong daritadi.
“Eh, iya, iya, Bang,” Reva segera mengambil gorengangannya dan kembali ke kelas.
***
“Hahahahahahaha....” Bima tertawa geli mendengar cerita Reva saat bertemu Damar di kantin.
“Kok lo malah ngetawain gue gitu sih, Bim?!” Reva merengut.
“Yaiyalah, gimana gue gak ketawa tau lo disindir kayak gitu sama gebetan sendiri. Jangankan Damar yang nyaris perfect itu, gue yang kayak gini juga bisa ilfeel kalo ngeliat cewek nyimpen duit-duit seribuan yang lecek kayak yang lo punya,” Bima meringis geli.
“Gitu banget sih lo,” Reva memanyunkan bibirnya.
“Gue jadi penasaran, berapa banyak sih duit seribuan yang udah lu aniaya terus lo simpen di rumah?” tanya Bima. Reva hanya mengangkat kedua bahunya yang menandakan jumlahnya tidak sedikit.
***
“Hai Guy’s!” Nina datang dengan ceria. Bima dan Reva sudah bisa menebak ada informasi penting yang akan Nina sampaikan.
“Ada info bagus apa, Na?” tanya Reva.
“You know what?! Besok ada pameran fashion di Dream Park, dan gue yakin bakal banyak diskon di sana...”
“Kita bisa shopping!” Teriak Nina dan Reva bersamaan.
“Haduuuh... Dasar cewek, gak boleh denger kata diskon sedikit pasti di otaknya langsung terprogram buat shopping,” keluh Bima. Nina dan Reva saling berpandangan dan tertawa bersama-sama.
Maklum Bima satu-satunya cowok di antara mereka bertiga. Jadi kalo terasingkan dan kadang suka gak nyambung ya wajar saja.
“Oya Va, jangan lo bawa uang-uang kertas seribuan yang lo punya ke sana,” pesan Nina.
“Loh, kenapa?”
“Lo tuh bisa malu-maluin gue, tau gak? Masa shopping pake duit lecek.”
“Hahaha, tenang aja, Nin. Revatisya Nova, gak bakal shopping pake uang seribuan lecek,” ujar Reva meyakinkan.
***
Esok harinya...
“NINAAAA... Gue mau yang ituuuuu,” teriak Reva sambil menunjuk ke arah dress hitam.
“GUE MAU YANG ITUUU,” kali ini Nina yang teriak sambil menunjuk ke arah high heels merah.
Reva dan Nina pun menikmati saat-saat shopping mereka. Karena saking asiknya shopping, Reva dan Nina tidak sadar kalo mereka telah terpencar.
“Ya ampuuun, Nina kemana sih?! Gue kan lupa jalan di daerah sini. Mana belanjaan gue banyak banget lagi. Duit gue juga cuma tinggal lima puluh ribu di dompet,” keluh Reva. Ia pun duduk di pinggir taman sekitar situ untuk mereganggkan otot-otot kaki dan tangannya yang daritadi telah ‘bekerja keras’. Tiba-tiba tanpa sengaja ia melihat Rio, salah satu personil Slash-B, boyband favoritnya sedang memarkir mobil.
“I-i-itu kan Rio!” Reva langsung merapikan dandanannya dan berlari menghampiri Rio.
“Ri-Rio...?!” sapa Reva sok dekat.
“Iya, ada apa ya?” tanya Rio sambil tersenyum ramah.
“Gu-gue Reva, gue ngefans banget sama boyband lo dan khususnya lo,” Reva tersenyum lebar. “Gue boleh minta tanda tangan?” pinta Reva.
“Boleh kok, dimana?” Rio balik bertanya. Reva mencari kertas. Tapi yang ia temukan hanya satu lembar uang lima puluh ribu dan dua lembar uang kertas seribuan yang sudah lecek dan berwarna kecoklatan. Sementara Rio mencari pulpen di mobilnya.
Akhirnya Reva memilih mengeluarkan uang seribuan lecek itu dibanding uang lima puluh ribu, karena itu akan ia gunakan untuk ongkos pulangnya nanti. Reva menyerahkan selembar uang seribuannya pada Rio. Rio terdiam sejenak. Lalu menatap Reva dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Maaf, ada uang yang lebih bagus sedikit gak?”
Pertanyaan Rio bagaikan panas matahari yang seakan telah melelehkan wajah Reva. Sambil mencoba tersenyum, Reva mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu yang ia miliki dengan sangat terpaksa. Rio mulai menandatangani uang tersebut. Setiap tarikan garis dari pulpen Rio di uang itu seperti jarum yang menusuk kulit Reva. Itu artinya ia tidak bisa menggunakan uang itu untuk ongkos pulangnya.
“Ini uangnya,” kata Rio tersenyum manis.
“Te-te-terimakasih ya,” jawab Reva tergagap.
“Oke sama-sama,” Rio pun pergi meninggalkan Reva yang masih berdiri terpaku.
Reva mengeluarkan handphonenya. Lowbatt. Sekarang ia harus rela pulang berjalan kaki. Kabar buruk, perutnya kini tidak mau kalah minta diisi. Reva terus berjalan sambil mecari penjual makanan. Langkahnya berhenti pada penjual gorengan, kudapan kesukaanya. Ia mengeluarkan dompetnya. Hanya tinggal dua lembar uang seribuan lecek dan dekil.
“Abang, bisa beli dua ribu?” tanya Reva pada penjual gorengan.
“Bisa, Neng.” Reva tersenyum lega. Ia pun mengambil beberapa gorengan.
“Bayar pake uang ini bisa gak, Bang?” tanya Reva lagi sambil menyerahkan dua lembar uang seribuan dekilnya.
“Bisa kok, Neng. Emang kenapa? “ Penjual itu balik bertanya sambil menerima uang dari Reva.
“Kok Abang mau dibayar pake uang jelek, lecek terus dekil kayak gini?” Reva kembali bertanya.
“Hahaha saya ini emang udah biasa diperlakuin kayak gitu, Neng. Mungkin karena saya orang kecil, jadi orang-orang seenaknya ngasih duit jelek kayak gini. Padahal saya sama pedagang yang lain kan berhak dapat duit yang layak, yang masih bagus. Tapi kalo gak ada duit seribuan jelek kayak gini, yang ada nanti saya sama keluarga saya gak bisa makan, Neng,” jelas penjual gorengan itu.
Reva terdiam kagum. “Terimakasih ya, Bang,” ucap Reva sambil berjalan pergi. Ia sekarang mengerti maksud dari kata-kata Damar waktu di kantin saat itu. Betapa selembar uang seribu sangat berarti untuk mereka yang ekonominya berada di bawah Reva. Dan mungkin sekarang untuk Reva sendiri. Uang lima puluh ribu menjadi tidak berharga setelah ditandatangani oleh Rio tadi. Karena itu artinya ia harus menyimpan uang itu sebagai kenang-kenangan. Kini uang seribuan pun sangat Reva harapkan agar ia bisa pulang ke rumahnya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Langkah Reva terhenti. Seorang cowok tampak dari balik jendela mobil.
“Damar..”
“Kok lo jalan kaki sendirian? Mau kemana?” tanya Damar bingung.
“Iya nih, gue mau pulang,” jawab Reva.
“Ya ampuun... ayo naik, gue anter lo balik,” ajak Damar.
Reva diam gak percaya.
“Kok malah diem, ayo cepetan naik, udah malem.”
Reva pun setuju dengan ajakan Damar. Lagi-lagi dia beruntung.
“Lo kok bisa sampe sini sendirian, Va?” tanya Damar lagi.
“Ceritanya panjang, Mar. Yang jelas gue udah ngerti sama kata-kata lo waktu sama gue di kantin,” jawab Reva. Damar tersenyum ke arah Reva.
Reva membalas senyuman Damar, lalu memandangi uang lima puluh ribu yang telah ditandatangani Rio. Kini Reva janji gak akan menganiaya uang kertas seribuan lagi. Ia akan menghargai berapapun nilai material uang itu. Dan karena uang seribuan ia jadi bisa dekat dengan Damar kayak sekarang.
***