Minggu, 15 November 2015

Einstein (Part 4)

“Selamat ulang tahun, Einstein..”

Ucapku dalam hati.
Beberapa hari yang lalu adalah hari ulangtahunnya.
Dari raut wajah yang selalu menjadi sasaran utama indra penglihatanku itu, bisa kutebak dia sangat bahagia.

Aku belum sempat memberinya kejutan.
Sudah satu semester aku sengaja memilih untuk tidak mengambil jadwal kuliah yang sama dengannya.
Mengapa?
Karena aku memberinya waktu untuk merindukanku, membubuhinya sedikit jeda untuk mencariku.

Tapi sepertinya aku hanya melakukan hal konyol.
Berjarak dengannya justru membuat mereka selalu mencecariku dengan pertanyaan yang sama.

“Kok sendirian? Soulmate-nya mana???” canda mereka.

Mungkin mereka sudah terbiasa melihat aku dan dia menghabiskan waktu bersama. Sehingga ada yang janggal ketika melihat kita akhir-akhir ini tak lagi bersisian. Mereka tak salah, aku pun merasakan hal serupa. Jujur saja.

“Iya nih, lagi sama-sama sibuk,” aku tak mau banyak berkomentar, hanya tersenyum lalu menjawab sekenanya.

Ya, ketika aku berpura-pura bahagia, dia justru terlihat seperti semua berjalan normal-normal saja. Tak ada yang lebam, tak ada yang retak apalagi patah.

Secepat itukah?

Hari ini aku berencana memberinya kejutan kecil.
Seusai jam kuliah, aku bergegas menuruni anak tangga dan menyusuri setiap sela lorong kampus untuk mencarinya. Tak perlulah aku bertanya melalui social media terlebih dulu. Aku yakin, 'radar' ku sudah cukup kuat untuk mengetahui keberadaannya.

Dugaanku benar.
Tak butuh waktu lama untuk aku menemukan sosoknya. Dia mengenakan kaos lengan panjang bergaris abu-abu, putih dan hitam, dengan celana jeans dan sepatu sneakers suede warna navy kesayangannya. Sebuah kacamata minus yang membingkai wajah teduh itu seolah menjadi penegas bahwa ia memang laki-laki cerdas.

Aku berdiri beberapa meter dari tempatnya berada. Ku nyalakan lilin kecil di atas cupcake coklat yang sudah kusiapkan. Sederhana.
Namun, melihat dia asik tertawa lepas bersama teman-temannya membuatku enggan untuk mendekat. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah wanita. Mereka terlihat membawakan kue yang cukup besar, lengkap beserta lilin berangka 23 di atasnya.

Aku memilih untuk memperhatikan dari jarak yang tidak terlalu dekat sambil bersembunyi di balik tiang-tiang tembok yang ada.
Sebelum meniup kedua lilin itu, dia tampak memejamkan mata lalu berdoa. Entah harapan apa yang sedang ia pinta. Mungkinkah ada namaku ia sebutkan di sana?

Aku sibuk menjaga pijar lilin di atas cupcake yang kubawa agar tidak padam tertiup angin.
Ah sial, lilinnya semakin meleleh.
Ku lihat dia mulai memotong kue ulangtahun diiringi suara teman-temannya yang bersemangat menyorakan nama 'Rena'. Ya, wanita yang ada di sebelahnya. Mungkinkah wanita itu yang akan mendapatkan potongan kue pertama darinya?

Aku masih berdiri mematung.
Ternyata benar, dia memberikan potongan kue pertama pada wanita bernama Rena. Wanita itu pun tampak senang menerimanya.

Cemburu?
Memang.
Tapi aku tidak akan mengganggunya. Aku senang ada banyak orang yang bisa membuatnya bahagia. Walaupun aku tidak termasuk di dalamnya.

Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menghembuskan nafasku sedalam mungkin.
Aku tidak ingin menangis.
Untuk apa?
Bukankah seharusnya aku bahagia?
Salahku.
Aku tau dia selalu mengatakan hal yang sama agar aku menyiapkan hati, karena dia bisa kapan saja menyakiti. Tapi peringatan itu tak pernah aku cermati.

Sudahlah, sebaiknya aku pergi.

Ku letakan cupcake yang kubawa di atas kursi yang ada di dekatku.
Lilinnya sudah hampir habis terbakar api.

Aku berjalan ke arah taman. Langkahku gontai. Badanku mulai gemetar.
Sesekali aku menyeka cairan bening yang keluar di ujung mataku.

Tidak, aku tidak boleh menangis.

Tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari belakang.
Sangat kuat hingga tubuhku ikut terbawa dan berbalik ke arah yang berlawanan.

BUUKK!!

Aku menabrak seseorang. Seseorang yang lebih tinggi dariku. Seluruh pandanganku tertutup olehnya. Aku berusaha berontak. Tapi aku tidak berdaya, kedua tangan itu terlalu kuat mendekapku. Seketika aku mencium aroma parfum yang sangat ku kenal. Aku pasrah. Tangisku pecah.

“Mau kemana?” tanyanya lembut.
“Gue mau pergi!” jawabku sambil terisak.

Taman kampus saat itu cukup ramai. Beberapa mahasiswa yang lewat dan melihat kejadian tersebut mungkin berpikir kita adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Seandainya saja kenyataannya seperti itu, aku sudah sangat senang. Setidaknya aku dan dia adalah sepasang kekasih.

Mendengarku menangis, dia semakin kuat memelukku. Tapi, ku biarkan tanganku menggantung bebas tanpa membalas pelukannya.

“Lu mau pergi kemana?”
“Ke tempat yang nggak ada lu!”

Dia melepaskan dekapannya. Aku masih menunduk karena tidak ingin dia melihatku menangis. Tangan kanannya mengangkat ujung daguku perlahan. Dia menatapku lembut seperti biasa. Jemarinya mencoba menghapus airmata di wajahku.

“Kenapa nangis?” tanyanya.
“Ngapain lu di sini?” tanyaku ketus.
“Buat nemuin lu. Gue tau lu daritadi nguntit gue kan? Hayoooo...”
“Siapa juga yang nguntit lu?”
“Halaaah, masih ngelak aja,” katanya sambil menarik hidungku.
“Auuuww sakit tau!” aku memukul tangannya. Kesal.
“Kalo lu nggak nguntit gue, terus ini apa?” Dia menunjukkan cupcake coklat yang kutinggalkan di kursi tadi. Aku diam.

“Kalo lu liat gue, kenapa lu nggak langsung manggil gue?”
“Hahahaha... kan lu mau kasih gue surprise, masa gue panggil. Nanti lu ngerasa rencana lu bikin suprise buat gue gagal dong?!”
Lagi-lagi aku diam. Iya, ku pikir dia ada benarnya juga.

“Sini...”
Dia menggandeng tanganku lalu mengajakku duduk di sebuah bangku. Aku menurut.

“Sekarang lu harus nyalain lilin ini lagi buat gue,” pintanya.
“Buat apaan?”
“Gue mau niup lilin dari kue yang lu bawa.”
“Udah, lupain aja. Mending lu balik lagi sana, kasian si Rena nungguin,” sindirku.
“Lu cemburu sama Rena?”

Dia masih saja menanyakan hal yang sudah jelas-jelas dia tahu jawabannya.
Ini yang paling aku tidak suka.

“Beruntung ya dia, bisa dapet first cake dari lu,” kataku sambil tertawa sinis.
“Ya ampun, itu karena diejekin temen-temen aja kok. Cuma bercanda.”
“Bukannya lu sekarang emang lagi deket sama dia?”
“Gue tuh lagi nggak deket sama siapapun. Kalo lu cemburu sama dia, lu salah sasaran. Rena tuh udah tunangan, masa iya gue ambil calon istri orang,” jelasnya.

Aku masih cemberut. Meskipun ada sedikit rasa tenang tapi tetap saja aku kesal.

“Udah nggak usah cemberut cuma gara-gara perkara first cake. Menurut gue, lu udah dapet yang lebih dari itu," hiburnya.

"Gue nggak mau lu pergi. Gue butuh lu, seperti lu butuh gue. Mungkin gue emang nggak bisa janji bakal gimana kita ke depan nanti. Tapi gue janji, lu akan selalu jadi orang penting dalam hidup gue,” katanya sambil menggenggam kedua tanganku. Aku memandangnya penuh keraguan, meskipun aku tahu dia sedang berusaha untuk menyakinkan.

“Lu akan selalu jadi prioritas gue. Janji!” Dia mengulurkan kelingking kanannya.
Kali ini kata-katanya cukup menghibur. Aku tak bisa menahan senyumku. Mungkin wajahku sudah berubah memerah.
“Janji.” Aku membalas dengan mengaitkan kelingking kananku.

“Naaah, gitu dong... Kan jadi lebih manis kalo lu senyum,” rayunya. “Ya udah, sekarang kita nyalain lagi lilinnya.”

Aku mengambil korek gas dari dalam tasku, lalu menyalakan kembali lilin yang sudah nyaris tak terlihat sumbunya itu. Setelah lilin menyala, dia menutup mata dan mengucapkan harapannya.
“Semoga kita bisa terus sama-sama.”

Einstein...

Dia meniup lilin harapannya. Lilin sebagai tanda usianya telah lebih mendewasa.
Aku  tersenyum lalu mengamini harapannya dalam hati.
Sudah menjadi rutinitasku sehari-hari, melafalkan semua do’a terbaikku untukmu.
Untuk kita.
Tak peduli seberapa bosan Tuhan mendengarnya.

Dariku,
Yang diam-diam (selalu) mendo'akamu :)




(Baca cerita sebelumnya Einstein (Part 3)