Jumat, 24 Mei 2013

Karena Aku Sahabatmu


“Lu sayang sama gue?”

Pertanyaan macam apa itu?
Mengapa dengan polosnya kau lontarkan pertanyaan seperti itu kepadaku?
Seolah kamu tidak mengerti perasaanku yang sesungguhnya

Hei, sudah berapa lama kita dekat?
Apa belum ada aku di hatimu sedikitpun?

Aku menggelengkan kepala.
Ah, selama ini hubungan kita selalu berkedok ‘SAHABAT’
Walaupun aku tau kamu menyadari bahwa semua ini sudah lebih dari itu
Kamu tau, kedekatan kita terjadi begitu saja.
Tanpa ada perkenalan, tanpa ada pengesahan.

Begitu banyak perhatian kecil yang kamu berikan.
Bahkan terlalu banyak.

Apa semua sahabatmu kau perlakukan seperti itu?
Mungkin hanya aku saja yang terlalu berlebihan menilai semua perhatianmu
Atau aku yang terlalu buru-buru untuk merasa telah memilikimu?

Aku hanya terdampar dalam perasaan yang tak tentu arahnya.
Hati ini memang terlalu egois.
Tapi aku tak bisa memaksanya untuk tidak jatuh cinta.

Jangan berpikir aku sedang bergurau seperti yang biasa kau lakukan padaku.
Aku pun tak mengerti mengapa bisa secepat ini.

Andai aku bisa membaca pikiran dan menerka isi hatimu,
Aku tidak akan mempertahankan semua ketidakpastian ini mengunciku

Mengapa kamu selalu pandai menaik-turunkan emosiku?
Mencampuradukan perasaanku,
Mematikan logikaku.

Iya, aku memang bodoh.
 PUAS?

Harusnya aku tidak memperhatikan sosokmu secara diam-diam dari awal.
Harusnya aku tidak peduli dengan siapa dirimu dan apa yang kamu lakukan setiap hari.
Harusnya kekagumanku adalah perasaan sementara.

Tapi kamu telah membawaku sampai pada titik ini.
Titik dimana setiap insan merasa segalanya indah.
Titik dimana setiap insan tidak ingin merasa sakit karena kehilangan.

Kini, kamu lebih memilih untuk memeluknya dibandingkan aku.
Kamu lebih memilih untuk menghapus airmatanya dibandingkan aku.

“Jodoh tidak ada yang tahu”
Itu yang selalu kau katakan.

Apa aku harus mencari kekuatan pada prinsipmu itu?
Kamu tidak pernah tahu aku menangis karenamu bukan?
Aku terjebak dalam perasaan yang menyesakkan ini.
Mungkin kamu hanya tau tentang perasaanku, tanpa mempedulikannya.

Aku tak berhak mengatur urusan pribadimu.
Aku tak berhak masuk dalam kehidupanmu seutuhnya.
Karena aku sahabatmu.

Ya, sahabatmu.
Sekali lagi…
Hanya SAHABATmu

Dan selamanya akan tetap sama,

Aku sadar,
Aku memang bukanlah seseorang yang kamu inginkan.

Sudahlah…
Bila memang kamu ingin pergi, aku tak akan menahan.
Jangan menoleh ke arahku sedikitpun.

Jangan pedulikan perasaanku,
Aku sudah terbiasa merasakan sakit.

Dengan beberapa tetes airmata :’)
Untukmu yang tak menginginkanku...

Sabtu, 11 Mei 2013

Hanya Ini


Hujan selalu mampu memaksaku untuk mengusik masalalu.
Detik per detik...
Pintu kenangan terbuka perlahan.

Meski ku paksa untuk tersadar,
Namun aku telah terpenjara lamunan.

Entah apa dan siapa...
Entah bagaimana dan untuk apa...

Logikaku tak mampu menerka memori itu
Selembut hembusan angin yang menerpa tiap garis wajahku

Terpejam.
Dengan ini aku mampu menyentuhmu
Tak peduli masa depan atau tetap kenangan

Aku mencoba pahami perlahan tiap alur yang berjalan
Seorang diri.
Tanpa ada yang membentengi.

Tak ingin kuhiraukan suatu rasa.
Tak ingin ku pedulikan tiap sosok yang nyata.

Aku hanya bayangan,
Yang memiliki satu warna.
Yang takkan terlihat tanpa cahaya.

Meski aku telah terkoyak.
Naluriku masih sama.

Hingga kembali ku membuka mata,
Dan yang aku kenali hanya kedamaian meraja.

Kamis, 25 April 2013

Mimpi, Bawa Aku Bersamamu


Dunia ku memang tidak sempurna
Aku hanya mampu merangkak dalam tiap rotasi jarum jam

Dongeng…
Satu-satunya hal yang kusesali di masa kecilku
Yang menjadikan hidupku selalu berkiblat padanya
Yang membuat dunia nyataku tercampur aduk dengan halusinasiku sendiri

Hingga aku merasa tak pantas untuk bermimpi
Karena aku takut
mimpi ku hanyalah karya seni yang terlalu indah
Sangat indah…

Namun aku ingin terus bermimpi
Tanpa bangkit ke dunia nyata

Di dalam mimpi…
Aku tak merasakan sakitnya pengkhianatan
Meski aku tau,
mimpi adalah suatu pengkhianatan terbesar dalam hidup

Andai mimpi bisa selalu indah,
Aku ingin menetap disana
Pelarian ketika dunia nyata tak selalu memihak

Di dalam mimpi…
Ada kebebasan...
Ada ketenangan...

Langkahku tak tersekat keegoan
Pandanganku tak terkunci bayangan

Pijakanku kuat,
Aku ingin tinggal

Di antara tugas-tugas kuliah
By me <3 :)


Rabu, 24 April 2013

Einstein


“Faktor internal yang harus dikaji adalah...”

Terdengar nyaring suara mikrofon dari teman-temanku yang sibuk dengan presentasinya di depan kelas.

Baris belakang. Tempat dudukku.
Ditengah kesibukan kegiatan belajar,
Aku justru lebih tertarik untuk menggoreskan tinta hitam di kertas ini.

Dari belakang sini semuanya terlihat lebih jelas.
Dan seluas penglihatanku hanya beberapa orang saja yang berkonsentrasi pada mata kuliah ini.
Mungkin dia salah satunya.

Entahlah, aku sudah terlalu lelah.
Kebisingan kelas terlalu menggangguku.

Einstein...
Itu bukan namanya,
Hanya panggilan khusus yang kubuatkan untuknya,
Karena menurutku dia terlalu pintar.

Mengapa dia bisa terlihat sangat tenang di antara kebisingan ini?
Ya, dia yang duduk di kursi paling depan.

Ketika ku alihkan pandanganku ke arahnya, rasanya masih selalu sama.
Seakan hanya ada dia yang terlihat di antara keramaian ruang ini.

Aku tau,
Belajar adalah salah satu prioritas utamanya.
Memang dia jauh lebih pintar dariku.
Karena itu alasan ku mengaguminya.


Hai Einstein...!
Ingin rasanya aku duduk di sampingmu,
lalu diam-diam memperhatikan raut wajahmu yang serius memperhatikan pelajaran.

Aku selalu ingin memperhatikan gerak-gerikmu dari belakang sini.
Caramu menulis...
Caramu membetulkan posisi kacamata...
Caramu bertanya hal yang kamu tidak mengerti.

Apa kamu memperhatikanku dari depan sana?
Ah, kurasa tidak.

Ku tutup mata, lalu menggeleng kuat-kuat.
Mencoba tersadar dari lamunan yang menyergap.

Bodoh! Siapa aku?!?
Apa iya seseorang seperti dia menginginkan wanita seperti aku?

Jam kuliah saja aku malah menulis dan sibuk dengan duniaku sendiri.

Lagi-lagi aku terlalu banyak berharap.
Mungkin ini yang dinamakan kebutuhan ego.

Tak terasa jam kuliah telah usai.
Para penghuni ruangan sementara itu mulai meninggalkan kursi mereka.

Aku masih terpaku di kursi belakang.
Ku baringkan kepalaku di atas meja.
Malas.

Hingga ruang kelas terdengar sunyi.
Aku memang lebih suka sendiri.
Andai Einstein mengajakku pulang bersamanya, pikirku konyol.

“Belum pulang?”

Aku terkejut mendengar suara itu.

“Loe lagi sakit ya?”

Dengan kepala masih tertunduk di atas meja, aku masih menerka-nerka suara lembut itu.

Aku mengenali suara ini.
Ku angkat kepalaku perlahan,
Mencoba melihat sang pemilik suara.

EINSTEIN!

“Kok loe belum pulang?” tanyanya lagi.
“G-g-gue...” Aku gugup.
“Mau bareng? Ini udah malam, nggak baik cewek pulang sendiri.”

Aku tak menyangka.
Khayalan bodohku ternyata tak sebodoh yang aku kira.
Seseorang yang selalu kuperhatikan dari belakang,
kini ada di hadapanku.

Akupun menuruti ajakannya.
Kali ini aku merasa sangat beruntung.

Atas alasan apapun dia mengantarku pulang, aku tak peduli.
Yang aku tau,
Aku merasakan bahagia.


Untukmu yang berpura-pura tak mengerti
 By me <3 :')