Minggu, 28 Juni 2015

Semangkuk Kolak Pisang


Berkali-kali aku membuka e-mail dari handphoneku, memastikan agar tak keliru membaca keterangan waktu dan lokasi yang tertera pada surat elektronik tersebut. Laju mobilku mulai melambat akibat banyaknya kendaraan yang menjejali jalan. Macet. 
Aku pasrah, mungkin aku akan datang terlambat. Hari mulai mendekati senja, pemandangan ini ku rasa sudah tak aneh, apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang. Ya, mungkin beberapa dari mereka sedang mengejar waktu agar bisa berbuka dengan keluarga ataupun kawan. Begitu juga aku.
Aku hendak menghadiri acara buka puasa bersama yang diadakan kawan-kawanku semasa SMA.
Itu artinya, aku akan kembali bertemu dengan dia.
Dia yang peluknya sempat menjadi tempat ternyaman, dia yang membuatku mengerti arti kehilangan.
Tiba-tiba aku tergelitik untuk menghadirkan bayangan sosoknya di kepala.
Seperti apa rupamu sekarang?
Setelah berpisah, kita memang sudah tak pernah lagi bertatap muka, bahkan untuk sekedar saling menyapa. Aku tak ingin mengingat penyebab pasti yang membuat kita akhirnya memilih melangkah sendiri-sendiri.
Ah, sudahlah...
Tujuh tahun adalah waktu yang sangat cukup untukmu menghapus semua hal tentang aku. Bahkan mungkin kau sudah tak ingat lagi siapa namaku.
Kamu pasti tidak akan percaya bahwa selama ini aku selalu menunggu pesan singkat darimu.
Bahkan jika boleh jujur, diam-diam aku selalu ingin tahu bagaimana kabarmu, pekerjaanmu atau sekedar bertanya sedang apa kamu.
Lebih tepatnya, rindu.
Tak terasa aku sudah tiba di tempat acara. Ternyata belum terlambat. Untungnya panitia sudah melakukan reservasi, sehingga aku tak perlu khawatir akan kehabisan tempat duduk seandainya datang terlambat. Setelah memarkir mobil, aku berjalan memasuki restoran yang cukup terkenal di kawasan Bogor itu. Ramai. Semua wajah terlihat tak asing, namun sudah tampak berbeda. Aku menyapa kawan-kawan dekatku. Sudah lama sekali rasanya tak berbagi cerita. Beberapa dari mereka datang bersama pasangan, bahkan sudah ada yang berkeluarga. Sisanya, harus berbesar hati datang seorang diri, seperti aku. Mungkin aku terlampau sibuk hingga tertinggal banyak kabar tentang mereka.
Adzan maghrib sekitar tiga puluh menit lagi. Semakin banyak yang datang, suasana pun terasa semakin hangat. Maklum saja, acara ini sekaligus ajang reuni kecil-kecilan untuk kami. Bertemu dengan mereka, aku merasa seperti kembali ke masa-masa SMA dulu. Ceria, penuh tawa, melakukan segala hal sekenanya seperti tanpa beban.
Mataku kembali menjelajah ke setiap sudut ruangan. Aku masih belum menemukan sosoknya.
Dimana dia?
Apa dia tidak datang?
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi.
Bosan.
Aku melangkah keluar ruangan menuju balkon restoran.
Di sini jauh lebih sepi. Aku berdiri sambil berpegangan pada pembatas balkon yang terbuat dari kayu-kayu. Ku tutup mataku sambil menikmati hembusan angin sore yang menerpa wajahku.
Sejuk sekali.
Beberapa saat kemudian aku menghirup aroma parfum yang tak asing bagiku.
Aku sangat mengenali aroma parfum ini.
Jantungku berdegup semakin lincah.
Tidak salah lagi, ini aroma parfum yang biasa dia gunakan.
Aku membuka mataku perlahan dan melihat seseorang telah berdiri di sampingku.
“Kamu?!?” Aku terkejut.
Benar saja dugaanku,  itu memang dia.
“Apa kabar?” dia bertanya sambil tersenyum padaku. Manis sekali.
“B-baik... Ka-kamu?” aku balik bertanya. Gugup.
“Aku juga baik,” jawabnya santai.
Aku membalas senyumannya.
Ini adalah percakapan pertama kami setelah tujuh tahun lamanya tidak bertemu. Sekarang dia tampak lebih dewasa. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru tua, celana jeans dan sepatu convers. Casual tapi tetap rapi. Tubuhnya lebih tegap, wajahnya terlihat dihiasi kumis tipis. Potongan rambutnya jauh lebih tertata. Ku perhatikan di saku kemejanya tak ada lagi bungkus rokok tersimpan seperti yang sering ia lakukan dulu.
Mungkinkah ia juga sudah berhenti menjadi pecandu nikotin sekarang?
Dia masih berdiri di sampingku. Ikut menikmati pemandangan sore. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya.
“Kenapa malah berdiri sendirian di sini?” tanyanya.
“Aku tidak begitu suka dengan keramaian. Kamu pasti sudah tau, kan?”
Dia tidak menjawab, hanya tertawa kecil.
“Maksudku, dimana pria beruntung itu?”
Aku mengerti arah pertanyaannya.
“Sejak kita berpisah, aku sudah tidak dapat menemukan seseorang yang bisa membuatku nyaman sepertimu,” jawabku sambil memukul lengannya pelan. Mencoba mencairkan suasana.
Kami pun tertawa bersama.
Memang benar. Selama ini aku sempat menjalin hubungan dengan beberapa pria. Tapi tidak ada yang dapat memberikanku kenyamanan seperti dia.
“Kamu masih memakai parfum itu?” tanyaku.

Aku baru ingat, parfum yang dia kenakan adalah hadiah ulang tahun yang kuberikan ketika usianya genap tujuh belas. Bisa dibilang parfum itu cukup eksklusif, karena tidak semua toko menjualnya. Apa mungkin dia juga masih belum bisa melupakanku?
Dia tak langsung menjawab pertanyaanku. Tatapan matanya sempat terlihat kosong seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Aku sangat suka dengan wanginya. Terima kasih ya,” jawabnya .
“Ooh... Ya, sama-sama.” Kali ini dugaanku salah.
“Lalu, bagaimana denganmu? Siapa gadis beruntung itu?” aku membalas pertanyaannya dengan harapan dia memiliki jawaban yang serupa.
“Allahu akbar, Allahu akbar...”
Kumandang adzan maghrib menghentikan percakapan kita.
“Alhamdulillah, udah adzan. Yuk kita buka puasa dulu,” ajakku berjalan masuk ke dalam restoran sambil menggandeng tangannya, bergabung dengan yang lain. Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami menikmati semua makanan yang telah dihidangkan. Ada bubur kacang, roti bakar, sop buah, dan... kolak pisang! Makanan kesukaannya.
Aku mengambil semangkuk kolak pisang dihadapanku dan berniat memberikan untuknya.
“Kamu suka ini kan, Mas? Dimas???”
Aku celingukan, bingung karena mendapati dia sudah tak ada di sampingku.  Aku berjalan mengelilingi ruangan untuk mencarinya. Dapat!
Aku menemukan dia sedang duduk sendirian. Mejanya terlihat masih kosong. Aku segera berjalan mendekat. Dia pasti senang jika tahu apa yang ku bawa untuknya.
Belum sempat aku memanggilnya, tiba-tiba seorang gadis cantik mendekat membawa semangkuk kolak pisang yang sama. Dia terlihat sangat senang menyambut kolak pisang yang diberikan oleh gadis itu.
Langkahku terhenti. Aku berdiri mematung.
Aku tak mengenali gadis itu.
Mungkinkah dia...??
Aku membalikan tubuhku sambil mencengkram kuat mangkuk kolak pisang yang ku bawa. Sebaiknya aku kembali ke mejaku. Tapi belum sempat aku melangkah, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
“Nayaaa!”
Aku menoleh.
Dia memanggilku sambil melambaikan tangan. Memberi tanda agar aku mendekat ke arahnya. “Sini Nay!”
Ku lihat gadis itu duduk di sebelahnya sambil tersenyum ke arahku.
Aku pun mendekat dengan perasaan terpaksa.
“Nay, kenalin ini Kezia... tunanganku.”
Dia mengenalkan gadis berwajah indo itu.
“Dua bulan lagi kita akan menikah,” tambahnya.
Gadis itu lalu mengucapkan nama sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku masih terhenyak tidak percaya. Ternyata dia sudah memiliki kekasih. Tidak, bukan sekedar kekasih, gadis ini adalah calon istrinya.

Secepat itukah?
Dengan perasaan yang berkecamuk aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum hambar.
“Naya.”
“Senang bisa ketemu kamu di sini. Dimas cerita banyak hal tentang kamu,” ujarnya ramah.

Benarkah???
Apa gadis ini juga tahu bahwa aku mantan kekasih tunangannya?
“Oya?” tanyaku seolah tak percaya.
“Iya, kamu gabung aja di sini bareng kita.”
Gadis ini murah senyum tapi sungguh terlampau ramah.
Mana mungkin aku bisa bergabung dengan mereka. Bagiku, itu sama saja bunuh diri.

“Terima kasih, tapi aku mau kembali ke mejaku saja. Permisi,” aku menolak dengan sopan. Aku pergi meninggalkan meja mereka.
“Nay… Nayaaa…”
Dimas masih mencoba memanggil namaku. Tapi aku pura-pura tak mendengar dan semakin cepat melangkahkan kaki untuk menjauh.
Nyatanya aku tidak kembali ke mejaku.
Aku lebih memilih menenangkan hati di balkon restoran tadi. Duduk termenung sambil memperhatikan semangkuk kolak pisang yang gagal kuberikan untuknya. Dasar bodoh! Dia sudah bertunangan. Jelas saja tunangannya tahu makanan kesukaannya.
Aku menyendok kolak pisang itu dan memasukannya ke dalam mulutku. Rasa manisnya cukup menghalau kegetiran yang menyusup. Meskipun ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan, tapi aku harus bisa menerima. Setidaknya, setelah tujuh tahun memendam rindu, pada akhirnya hari ini Allah mengizinkan kita bertemu.
Sekarang, dia sudah menemukan tulang rusuknya. Harusnya aku turut senang, karena dia sudah memiliki seseorang yang bisa menjaganya dan selalu ada di sampingnya.

Ya, semoga kalian bahagia.

Minggu, 07 Juni 2015

My First Articel on Hipwee


Yeeeeaaayyy...!!!
Itu adalah judul artikel pertama gue yang di publish oleh hipwee. Nggak nyangka tulisan gue bisa di share lebih dari empat ribu orang dan sempet masuk jajaran 10 artikel terpopuler mingguan
(terima kasih kawan, rasanya mau peluk kalian satu-satu :D).
Tulisan yang menurut gue masih butuh beberapa ilmu tentang tata bahasa. Tulisan hasil keisengan yang terinspirasi oleh ‘luka’.

 Awalnya, sama sekali nggak berharap terlalu muluk artikel gue bisa lolos dan dipublish. Tapi setelah tau judul artikel gue muncul di web hipwee, antara percaya dan enggak rasanya.

Bisa dibilang gue cuma seorang penulis amatir. Gue nggak tau seni ataupun ilmu tentang dunia sastra maupun tulis-menulis. I just do what I want and what I love.

Mungkin orang-orang akan mikir gue norak. Hahaha gapapa, memang begitu kenyataannya, karena gue nggak tau gimana cara ungkapin perasaan senang gue.

Gue sempet bilang sama diri gue sendiri, kalo yang nge-share artikel gue bisa lebih dari seribu orang, maka gue akan coba buat nulis artikel lagi (karena gue pikir nggak bakal ada yang mau share artikel cengeng kayak gitu haha) Tapi, ternyata gue salah.
Selang dua hari sejak artikel gue terbit, artikel gue udah di share lebih dari 4.000 orang.
So, berbahagialah untuk kalian yang menunggu artikel dari gue selanjutnya, karena gue harus tepatin janji gue hahaha :p
Suatu kebanggan tersendiri karena tulisan gue bisa dinikmati banyak orang, walaupun tanpa dibayar :)

Sekali lagi, terima kasih untuk kalian yang udah mau sempetin waktunya buat baca coretan gue, terima kasih juga buat kalian yang selalu support gue, buat kalian yang menunggu novel terbitan gue (entah kapan novelnya bisa terbit hehehe).
Dan terima kasih untuk 'Einstein' yang selalu jadi inspirasi dari setiap tulisan gue.
Pokoknya... LOVE YOU ALL <3 :*